Desa Mundusewu Hidupkan Kembali Tradisi Ujung untuk Peringati HUT ke-79 RI
Jombang, GelarFakta – Dalam rangka memperingati HUT ke-79 Republik Indonesia, Desa Mundusewu, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, kembali menyelenggarakan tradisi ujung atau saling cambuk rotan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan budaya leluhur.
Acara ini digelar pada Minggu (1/9) dan berhasil menarik perhatian tidak hanya warga setempat, tetapi juga masyarakat dari luar daerah yang ingin menyaksikan langsung tradisi unik tersebut.
Lapangan Desa Mundusewu menjadi pusat kegiatan, menjadi saksi hidup kembalinya tradisi yang sempat terhenti selama beberapa tahun.
Puluhan peserta dari berbagai daerah, termasuk Mojokerto, berpartisipasi dalam acara penuh semangat ini.
Ratusan penonton yang antusias berkumpul di sekitar arena, menyaksikan dengan seksama setiap sabetan rotan yang dilayangkan oleh para peserta.
Meskipun tampak menyakitkan, tradisi ujung tetap menjadi daya tarik yang kuat dan simbol kebanggaan bagi masyarakat Desa Mundusewu.
Kepala Desa Mundusewu, Anisah, mengungkapkan bahwa tradisi ujung telah lama menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat setempat.
“Tradisi ini merupakan warisan leluhur yang dulunya sering dilaksanakan sebagai bentuk permohonan agar turun hujan. Kini, kami menghidupkannya kembali sebagai bagian dari perayaan HUT ke-79 RI. Meskipun sudah memasuki bulan September, semangat kemerdekaan masih terasa hangat di desa kami,” ungkap Anisah.
Anisah juga menekankan bahwa tradisi ini memiliki makna mendalam bagi warga Mundusewu.
Dahulu, tradisi ujung bukan sekadar ajang saling cambuk, melainkan juga sebuah ritual untuk memohon berkah hujan.
“Masyarakat di sini sangat menghargai tradisi ini. Setelah saya menjabat sebagai Kepala Desa, banyak warga yang meminta agar tradisi ini dihidupkan kembali. Melalui tradisi ujung, kita mengenang dan meresapi kembali kebijaksanaan para leluhur,” tambahnya.
Lebih lanjut, Anisah mengungkapkan bahwa pihak desa memiliki rencana besar untuk melestarikan tradisi ini.
“Kami ingin tradisi ujung menjadi salah satu identitas budaya di Kabupaten Jombang. Oleh karena itu, kami berencana untuk membangun monumen ujung di Desa Mundusewu sebagai penghormatan terhadap tradisi ini. Monumen ini nantinya akan menjadi simbol kebanggaan dan pengingat bahwa tradisi leluhur kita harus dijaga dan dilestarikan,” jelasnya.
Anisah juga berharap agar tradisi ujung diakui sebagai bagian dari cagar budaya di Kabupaten Jombang.
Dengan demikian, tradisi ini tidak hanya menjadi kebanggaan bagi warga Mundusewu, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Jombang.
“Kami akan berupaya agar tradisi ujung bisa diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh pemerintah. Selain itu, kami juga akan memperjuangkan agar tradisi ini bisa menjadi salah satu olahraga tradisional yang diadakan setiap tahun di Jombang,” tambahnya.
Selain menjadi ajang pelestarian budaya, tradisi ujung juga menjadi momen bagi warga untuk saling bersilaturahmi dan mempererat kebersamaan.
Suasana riuh penuh kegembiraan terasa kental di sekitar lapangan desa, dengan suara sorak-sorai penonton yang meramaikan setiap aksi cambuk.
Tradisi ini tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga mengingatkan kembali akan pentingnya menjaga kebersamaan dan persatuan di tengah masyarakat.
Melalui tradisi ujung, Desa Mundusewu menunjukkan komitmennya dalam melestarikan budaya leluhur sekaligus memperingati HUT Kemerdekaan RI dengan cara yang unik dan penuh makna.
Dengan semangat yang tinggi, masyarakat Desa Mundusewu bertekad untuk terus menjaga dan mengembangkan tradisi ini agar tetap hidup dan berkembang, serta menjadi bagian penting dari identitas budaya mereka.
Sementara itu, Sutikno, seorang peserta ujung berusia 50 tahun, menceritakan bahwa ia selalu menantikan momen ini setiap tahunnya.
Bagi Sutikno, tradisi ujung bukan sekadar ajang pamer kekuatan, tetapi juga kesempatan untuk menunjukkan rasa cintanya terhadap budaya desanya.
“Saya bangga bisa melestarikan tradisi ini. Setiap tahun, saya selalu ikut serta. Meskipun sudah tua, semangat saya tidak pernah surut. Saya berharap tradisi ujung ini bisa terus dilaksanakan dan menjadi kebanggaan bagi generasi berikutnya,” ujarnya, sembari mengaku telah mengikuti tradisi ujung sejak masih duduk di bangku SMP.
Sutikno juga menyebut bahwa keunikan tradisi ujung ini tidak hanya terletak pada aksi saling cambuk rotan, tetapi juga pada nilai-nilai kebersamaan dan keberanian yang tertanam di dalamnya.
Peserta yang mengikuti tradisi ini harus memiliki nyali besar, karena mereka harus siap menerima sabetan rotan dari lawannya.
Namun, hal tersebut tidak mengurangi semangat mereka untuk tetap berpartisipasi.
“Tradisi ini mengajarkan kita untuk kuat dan tahan banting. Meskipun terlihat sakit saat terkena cambuk, ada rasa kebanggaan tersendiri bisa menjadi bagian dari tradisi ini,” pungkas Sutikno.(jb1/kur)