Pengaduan Terhadap Media Meningkat Tajam, Dewan Pers: Sinyal Kesadaran Publik dan Masalah Etika Jurnalistik


Jakarta, gelarfakta.com – Dewan Pers mencatat lonjakan tajam jumlah pengaduan masyarakat terhadap pemberitaan media selama Semester I 2025. Sepanjang Januari hingga Juni 2025, terdapat 625 pengaduan masuk, yang merupakan jumlah tertinggi dalam empat tahun terakhir untuk periode yang sama.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Muhammad Jazuli, menyebut peningkatan ini mencerminkan dua hal penting dalam lanskap media nasional.
“Kenaikan ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin sadar akan haknya terhadap pemberitaan. Tapi pada saat yang sama, ini juga jadi sinyal masih lemahnya penerapan standar etika jurnalistik, terutama di media daring,” ungkap Jazuli dalam konferensi pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (5/8/2025).
Bulan Juni menjadi catatan tersendiri dengan rekor bulanan tertinggi, yakni 199 pengaduan. Dari total laporan tersebut, sebanyak 191 kasus telah diselesaikan, sementara sisanya masih dalam proses tindak lanjut.
Mayoritas pengaduan disampaikan melalui kanal digital seperti Layanan Pengaduan Elektronik (LPE), email, dan hotline. Data Dewan Pers juga mencatat lebih dari 90 persen pengaduan ditujukan kepada media siber.
Dari total 625 kasus yang diterima, sebanyak 424 kasus atau sekitar 67,84 persen telah diselesaikan. Rinciannya terdiri dari 316 kasus melalui surat-menyurat, 84 kasus melalui proses arsip, 21 kasus melalui mediasi atau risalah, dan 3 kasus melalui ajudikasi atau Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR).
Beberapa kasus yang masuk ke Dewan Pers menarik perhatian publik karena melibatkan media besar dan instansi pemerintahan atau swasta. Salah satunya adalah pengaduan Kementerian Pertanian terhadap pemberitaan bertajuk “Poles-Poles Beras Busuk” yang ditayangkan oleh Tempo.co. Kementan menilai visual konten berita tersebut melebih-lebihkan dan bersifat menghakimi.
“Setelah kami telaah, konten tersebut terbukti melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik. Kami merekomendasikan agar media mengubah visual judul, menambahkan klarifikasi, serta memoderasi komentar pembaca,” jelas Jazuli.
Kasus lainnya datang dari Taman Safari Indonesia (TSI) yang mengadukan sedikitnya 14 media daring, termasuk kompas.com, detik.com, dan tirto.id. TSI menilai pemberitaan yang mengaitkan mereka dengan Oriental Circus Indonesia (OCI) menyesatkan serta mencemarkan nama baik lembaga.
Menurut Jazuli, tingginya angka pengaduan dipicu oleh beberapa faktor, antara lain meningkatnya literasi media masyarakat, kemudahan akses pelaporan secara daring, penurunan kualitas jurnalistik seperti penggunaan judul clickbait dan lemahnya verifikasi, serta adanya pengaruh kepentingan non-jurnalistik terhadap independensi redaksi.
Menanggapi kondisi ini, Dewan Pers telah menyiapkan sejumlah langkah strategis. Salah satunya adalah perluasan program Sertifikasi Kompetensi Wartawan. Hingga saat ini, tercatat 12.936 wartawan telah tersertifikasi, dengan 4.500 di antaranya difasilitasi selama tiga tahun terakhir.
Dewan Pers juga aktif memberikan teguran terhadap media yang menyajikan konten tidak etis, termasuk yang mengandung sensualisme dan pornografi. Selain itu, pada 24 Juni 2025, Dewan Pers meluncurkan Mekanisme Nasional Keselamatan Pers bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komnas Perempuan. Mekanisme ini dirancang untuk melindungi wartawan dari kekerasan, berbasis pada tiga pilar: pencegahan, perlindungan, dan penegakan hukum.
Jazuli menegaskan bahwa seluruh insan pers wajib menjaga kualitas kerja jurnalistik, terutama dalam hal akurasi, keberimbangan, serta kepatuhan terhadap etika.
“Kami mendorong media untuk mengedepankan uji informasi sebelum publikasi, menghargai hak jawab, dan menghindari campur aduk antara opini dan fakta,” tegasnya.
Di akhir pemaparan Jazuli menutup dengan penegasan bahwa Dewan Pers akan terus menjaga kemerdekaan pers sembari melindungi hak masyarakat atas informasi yang benar, akurat, dan berimbang.(*/pty/kur)



